3 Cerita Tentang Anak Jujur yang Menginspirasi

Selasa, 20 November 2018

Tiga kisah ini menggambarkan nilai-nilai kejujuran yang begitu dijunjung tinggi. Semoga Anak Baik dapat memetik pesan berharga dari cerita ini dan menjadikannya inspirasi:

 

Penjaja Tisu dan Uang Empat Ribu Rupiah

Siang itu, saat melintas jembatan penyeberangan di sebuah jalan di kawasan segitiga emas Jakarta, saya berpapasan dengan dua bocah kurus, kumal, dan bermandikan keringat. Menenteng tas plastik hitam, mereka menjajakan tisu. Dua bocah tadi sedang memperoleh pembeli, seorang wanita. 

 

“Terima kasih, ya, Mbak. Semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka. Tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah 10 ribu rupiah.

 

Sayang, dua bocah itu tidak memiliki uang kembalian. Dengan sigap, salah satu dari mereka menghampiri saya yang berada tak jauh dari mereka. 

 

“Om, boleh tukar uang enggak, receh sepuluh ribuan?”

 

Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan empat ribu rupiah. Mungkin karena lama menunggu, Mbak pembeli tadi langsung bilang, “Ambil saja kembaliannya, Dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah Timur.

 

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang 10 ribuan tersebut dan meletakkannya ke genggaman saya. Secepat kilat ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. 

 

Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, enggak apa-apa, ambil saja!” Namun si anak berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf, Mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan!” Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. 

 

Tinggallah saya dan mereka. “Om, tunggu sebentar, ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!” 

 

“Eeh ... enggak usah. Biar saja ... nih!” saya kembalikan lagi uang 10 ribu itu ke si kecil. Ia menerimanya, tapi terus berlari menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah, tapi dihentikan oleh anak yang satunya. 

 

“Nanti dulu, Om, biar ditukar dulu ... sebentar.” 

Enggak apa-apa, itu buat kalian,” lanjut saya.

“Jangan, Om, itu uang Om sama Mbak yang tadi juga,” anak itu bersikeras.

“Sudahlah. Saya ikhlas, Mbak tadi juga pasti ikhlas!” 

 

Namun ia tetap menghalangi saya sejenak sebelum berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat. Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. 

 

“Ini deh, Om, kalau kelamaan, maaf.” Ia memberi saya delapan pack tisu.

“Buat apa?” saya terbengong.

“Maaf, tukar pakai tisu saja dulu, Om. Habis teman saya lama, sih.” Walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tisunya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tisu dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. 

 

“Terima kasih, Om!” Mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan, “Duit Mbak tadi gimana?” suara kecil yang lain menyahut. “Lu hafal 'kan orangnya? Kali saja ketemu lagi ntar kita kasihin.”

 

Penulis: Agus Surono, Intisari-online.com 

(proses penyuntingan tanpa mengubah inti cerita)

 

Zhafran & Bumper Mobil

Seorang anak berusia 6 tahun bernama Zhafran, tak sengaja menggores bumper mobil ketika sedang bersepeda. Anak sulung ini jatuh dari sepeda dan tak sengaja menggores mobil yang sedang terparkir di pinggir jalan. Merasa bersalah, ia pun pulang dalam keadaan menangis dan meminta maaf kepada orangtuanya. Orang tuanya pun menyuruh Zhafran meminta maaf dan menemui si pemilik mobil, namun berujung tak bertemu.Ia pun menulis memo dengan kesungguhan hatinya untuk si pemilik mobil dengan menyertakan nomor ponsel ibunya. Kisah kejujuran Zhafran ini pun lantas menuai pujian dari warganet yang berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. 

 

Sumber: brilio.net

 

Ibu Tua dan Keresek Putih

Atta Verin melihat seorang ibu tua bersandal jepit menggedor-gedor pagar satu rumah berpagar tinggi saat melintas di daerah Antapani, Bandung. Ada keresek putih besar di tangan kirinya. Verin memutuskan turun dan menghampiri wanita tua yang ternyata seorang pemulung.

 

Saat ditanya, apakah butuh bantuan.  Ibu itu menjawab "Keresek ini berisi dua potong baju bagus baru beli masih ada bandrolnya dan kereseknya masih di-hekter. Saya pemulung, tuh gerobak saya. Keresek ini ada di tempat sampah rumah ini, tapi saya tidak bisa mengambilnya. Yang punya rumah pasti sudah salah membuang keresek ini. Mungkin dikira sampah, padahal ini baju baru!" kata Verin menirukan ucapan pemulung itu.

 

Verin terharu. Lalu membantunya menggedor-gedor pagar rumah itu. Tapi setelah 5 menit tak ada yang membukakan pintu. "Lemparkan saja kereseknya ke dalam halamannya,” usul saya. Tapi Ibu itu bilang, “Jangan, nanti ada yang ambil! Kasihan yang punya, ini baju baru banget, Neng!" 

 

Akhirnya tas plastik  berisi baju itu dititipkan ke satpam di ujung jalan. "Saya sangat terharu, jarang sekali ada orang sejujur itu," kata Verin. 

 

Sumber: Merdeka.com

Editor: Imelda